belakangan ini kesusastraan khususnya puisi mengalami
pergolakan yang sangat akut di dunia industri. sehingga nilai tawar dari
perpuisian nusantara tak lagi bergairah sebagaimana Pujangga lama dan pujangga
baru dulu. Juga bisa kita kaji ulang bagaimana kritikus sastra pada kali ini,
sungguh sangat miskinnya bangsa ini dari kritikus sastra. Miskin di sini saya
artikan bukan tidak ada kritikus sastra namun tidak adanya karya sastra atau
puisi yang menarik untuk di kritisi. Persoalan ini tak lepas dari para penyair
belakangan yang tergiur oleh dunia materi, sehingga mereka menulis puisi bukan
lagi sebagai suatu panggilan jiwa namun panggilan kerja.
Jika
demikian, maka sistem kapitalisme yang
mulai berkembang di Inggris pada abad 18 M dan kemudian menyebar luas ke
kawasan Eropa Barat laut dan Amerika Utara. Telah merasuk pada otak penyair.
Sungguh sangat di sayangkan jika hal itu benar adanya, karena apalah arti
sebuah puisi bila hanya dapat di tukar dengan uang dan apalah arti penyair jika
menulis puisi adalah panggilan kerja. Maka puisi-puisi yang di tawarkan kepada
pembaca adalah sekumpulan kata-kata yang berisi industri, dan sudah menjauh
dari nilai puisi sebagai legitimasi kritik sosial dan perenungan nurani yang
dalam. Tidak salah kiranya, WS Rendra mengatakan “Penyair Salon” yang bersajak
tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya.
Kegelisahan ini bukan tanpa alasan tapi coba kita baca
ulang bagaimana perpuisian kita pada kali ini, misalnya kalau kita berkaca pada
media-media nasional yang menyediakan kolom kesusastraan. Di sana memang benar
adanya bagaimana setiap minggu yang mengisi kolom sastra khususnya puisi adalah
orang-orang besar atau penyair-penyair yang telah tenar namanya di jagad
kesusastraan nusantara. Namun di sini bukan masalah penyair besar atau tidak,
melainkan bagaimana puisi yang mereka sajikan pada pembaca. Kita tidak lagi
menemukan nilai-nilai sosial, atau sekedar menanggapi permasalahan yang tengah
terjadi dengan bangsa ini. bukankah sekarang tidak akan ada lagi penangkapan
seperti yang terjadi pada penyair-penyair dahulu, kenapa hal ini terjadi? Dan
anehnya para pembaca tidak sadar kalau mereka di beri sajian kata-kata yang
berbau industri belaka.
Kapitalisme
dan Puisi
Kapitalisme
merupakan sistem ekonomi yang menitik beratkan pada pengusaan modal untuk
mencapai keuntungan. Ebenstein menyebut kapitalisme sebagai sistem
sosial yang holistik, bukan hanya menjurus
pada sistem perekonomian.
Dia mempertautkan kapitalisme dengan individualisme.
Awal
abad 20 kapitalisme harus menghadapi berbagai tekanan dan ketegangan yang tidak
diperkirakan sebelumnya. Problematika sosial yang muncul dari implikasi
kapitalisme adalah munculnya ketimpangan kelas. Sehingga hegemoni kaum
kapitalis memenjarakan kebebasan manusia, inilah bentuk dehumanisi yang tidak
punya belas kasihan terhadap rakyat jelata. Sehingga yang berlaku adalah diktum
Darwinisme ‘siapa yang kuat dia yang bertahan’.
Dalam
perekonomian kapitalis setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai
dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh
laba sebesar-besarnya. Semua orang bebas malakukan kompetisi untuk memenangkan
persaingan bebas dengan berbagai cara.
Berangkat
dari deskripsi di atas, setidaknya ada hal yang begitu kompleks ketika
memperbincangkan puisi
dan kapitalisme. Belakangan seiring dengan dinamika zaman, puisi mengalami
pergolakan yang sangat luar biasa. Puisi digempur oleh kekuatan kapitalisme
global, bahkan puisi dimodifikasi sedemikian rupa hanya untuk memenuhi hasrat
kaum kapitalis. Lomba-lomba
yang menyediakan hadiah puluhan juta rupiah di gelar di mana-mana, anehnya para
penyair lupa kalau itu semacam jurus kaum kapitalis untuk meluruskan niatnya.
Apalagi
belakangan muncul genre puisi
yang seolah-olah menawarkan perubahan bagi perpuisian kita yang tengah dilanda berbagai macam kemelut .
Padahal jika kita melihat lebih jauh pembaharuan tersebut merupakan
perpanjangan tangan dari hegemoni kaum kapitalis. Akan tetapi kita dibuat tidak
sadar sehingga kita menjadi apa yang dikatakan Boudrillard sebagai ‘mayoritas
yang diam.
Puisi
dikonstruksikan oleh madia sedemikian rupa melalui perlombaan-perlombaan atau honor yang melimpah ruah.
Sehingga kalau dilihat secara kritis, acara tersebut menumbangkan bangunan sakralitas perpuisian kita dan puisi menjadi
lahan popularisasi belaka.
Apabila membincangkan popularisasi yang terbentang adalah hamparan orientsi
keuntungan dan indikasi kepentingan.
Di sadari atau tidak semua ini telah berlaku pada
kesusastraan kita. Di mana penyair yang telah malang melintang di dunia
perpuisian nusantara merasa emoh jika
mengirim puisi pada Koran-koran lokal yang belum bisa menyediakan honor. Mereka
beranggapan bahwa mereka tidak di hargai. Bukankah puisi pada dasarnya bukan
untuk di hargai, apalagi harga yang mereka patok adalah uang. Sungguh nilai
yang sangat rendah bagi kesakralan puisi itu sendiri.
*AS
NOERUL ANAM, Ketua Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY).
Tercatat sebagai mahasiswa Ushuluddin UIN Sunan Kalajaga Yogyakarta. Tinggal
di Jln, Parangtritis KM 7,5. No 44 Cabeyan, Sewon Bantul, Yogyakarta.