Kalau saya menang pemilu, saya
harus membentuk pemerintahan baru. Saya harus melakukan pembersihan, karena
dalam catatan saya, ada sekitar 4.000 orang yang harus di tangkap karena
melakukan berbagai pelanggaran hokum, termasuk koruptor. (Gus Dur)
Ungkapan
itu tidak hanya menjadi buah bibir saja, namun president ke 4 itu benar-benar
melakukan pembersihan setelah terpilih menjadi president. Itu membuktikan kalau
Gus Dur tidak main-main dengan apa yang telah dia ucapkan. Kalau kita kaitkan
pada peminpin saat ini bagaimana, apakah peminpin saat ini juga demikian?
Mungkin kita tidak akan pernah lupa bagaimana Anas Urbaningrum berjanji “kalau
saya terbukti korupsi satu rupiah pun gantung saya di monas”. Dan juga Akil
Mochtar yang berkata “kalau saya terbukti korupsi potong jari telunjuk saya”.
Namun apakah mereka benar-benar menepati janji mereka dengan gantung diri di
monas dan memotong jari telunjuknya. Tidak, mereka yang berjanji berkilah
terhadap apa yang telah dia ucapkan jauh-jauh hari.
Monafik,
itulah yang pantas kita sematkan kepada peminpin kita masa kini yang hanya bisa
berjanji dan berjanji sedangkan tidak ada bukti. Mereka (calon peminpin) turun
ke bawah saat mau mencalonkan diri, mencoba membaur dengan masyarakat bawah.
Namun setelah jadi ke mana perginya mereka, apakah mereka tetap melayani
masyarakat, berbaur seperti awal mula pencalonan. Mereka menghilang bagai di
telan bumi. Inilah potret peminpin saat ini, jika masih mau mencalonkan mereka
sangat merakyat namun setelah jadi mereka lupa dengan janji-janjinya.
Ini
kegelisahan masyarakat saat ini, ketika peminpin sudah tidak bisa di percaya
dan mereka hanya bisa berjanji dan berjanji. Hal ini juga yang menjadi
kegelisahan Abd. Rahman yang menulis tentang kepeminpinan Gus Dur. dalam
kegelisahan tersebut Abd. Rahman seringkali muncul pertanyaan semacam ini,
“jika Gus Dur telah tiada, siapa lagi yang akan membela kita yang di nyatakan
sesat dan kafir? Siapa yang berani mengertak orang-orang besar, elit politik,
dan para penguasa demi orang-orang kecil? Siapa yang akan merangkul orang-orang
miskin termarjinalkan dan orang-orang minoritas yang tertindas?” ini menandakan
bagaimana masyarakat merindukan peminpin yang tegas ala Gus Dur (Gitu aja kok
repot. hal: 8). Ini bukan semata-mata kegelisahannya sendiri namun juga ini
berasal dari realita yang ada, bagaimana masyarakat merindukan peminpin yang
tegas dan jujur dalam meminpin bangsa ini ke depan.
Kegelisahan
ini sudah mulai tercium mulai dari lengsernya Gus Dur. Dari sejak itulah
kepeminpinan di Indonesia mulai amburadul, puncaknya bahwa kepeminpinan di
Indonesia sudah tak dapat kita perjuangkan ketika pada akhir masa kepeminpnan
SBY, di mana pelanggaran-pelangaran hukum dan maraknya korupsi menjadi topik
terhangat di Negeri ini. Dan hal ini telah menjadi rahasia umum kalau pada
kepeminpinan SBY gagal, baik secara kuantitas mau pun kualitas. Persoalan
semacam TKI, buruh, bencana dan sebagainnya masih terus menumpuk dan sampai
saat ini taka da kejelasan. Lain hal dengan persoalan korupsi yang setiap saat
terus berkembang dan membengkak. Maka tak salah kalau akhirnya masyarakat
menginginkan Gus Dur kembali menjadi president.
Kita
sering berandai-andai dan menginginkan sesuatu yang sempurna, meski tak ada
yang sempurna di dunia ini. Tapi minimal mendekati kesempurnaan itu. Peminpin
ala Gus Dur adalah harapan atau jalan tengah dari krisis kepeminpinan di Negeri
tercita ini. Meskipun kita sadar kalau sesuatu yang telah meninggal itu tak
akan bisa kembali lagi. Namun apa salahnya kalau para peminpin di Negeri ini
mencontoh bagaimana Gus Dur menegakkan panji-panji kebenaran dan menumpas
segala bentuk kejahatan.
Hal
inilah yang masyarakat inginkan, bagaimana para calon peminpin bangsa
meneladani sikap Gus Dur. Baik dalam masalah menumpas para korupsi atau
merangkul orang-orang bawah. Sebab kebanyakan dari para peminpin saat ini,
mereka masih membutuhkan suatu lembaga tertentu untuk melakukan atau mengambil
suatu keputusan. Misalnya seperti menumpas korupsi, di era SBY masih membutuhkan
KPK untuk menumpas korupsi. Itu baik namun bukankah dengan hal itu menandakan
bahwa SBY lemah atau bisa di katakana pencitraan politik. Permasalahan seperti
ini yang terjadi sekarang, peminpin tidak tegas dalam menegakkan kebaikan maka
dari itu korupsi menyebar di mana-mana.
Oleh
karena itu berandai-andai tidak salah kiranya, sebab semua berawal dari
andai-andai atau mimpi. Suatu negara yang tidak mempunyai mimpi dan takut
berandai-andai niscaya menjadi sebuah negera yang maju. Maka dari itu
berandai-andai Gus Dur menjadi president lagi adalah sebuah pengandaian yang
sangat tepat di tengah kerisis kepeminpinan di negeri ini.
*Nurul Anam, Peneliti Politik di
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.