Belakangan, dunia kesusastraan mengalami
ketenangan yang luar biasa, sehingga para penulis sastra (penyair) banyak yang
menerbitkan kumpulan tulisannya dengan sangat gampang, baik itu berupa puisi
atau pun cerpen. Hal itu di latar belakangi oleh maraknya penerbit baru yang
bermunculan sehingga membuat para penyair (khususnya penyair muda) dengan
gampang menerbitkan kumpulan tulisannya.
Mereka memanfaatkan kondisi ini dan
berlomba-lomba untuk menerbitkan kumpulan tulisannya. Entah apa karena
popularitas yang mereka cari atau uang hasil dari penjualan buku tersebut.
Semua itu telah menjadi budaya sastra kekinian, dan hal tersebut membuktikan
kalau dalam diri penyair saat ini tidak ada gejolak atau lebih kongkritnya
mereka mengalami ketenangan yang luar biasa dalam hidupnya. Padahal kata Simone
Weil “barang siapa yang tidak bingung saat ini, berarti ada yang tidak beres
dalam jalan pikirannya. Itu artinya dari kebingungan tersebut kita dapat
berpikir dan menemukan hal-hal baru di dalam ilmu pengetahuan.
Apalagi sastra bukan suatu karya tulis
yang bersifat statis dan modelnya hanya itu-itu saja. Namun karya sastra adalah
sebuah karya yang terus berkembang baik dari segi model penulisan maupun isi
dari tulisan tersebut.
Coba kita kembali merenung dan menoleh
kebelakang, bagaimana para penyair terdahulu menerbitkan kumpulan puisi dan
cerpennya. Mereka butuh waktu yang sangat lama untuk sekedar menerbitkan satu
buku. Bahkan Sutardji Calzoum Bachri hanya punya satu antologi yaitu: “Amuk
Kapak”. Dan yang lebih mengerikan lagi adalah Umbu Landu Paranggi, yang tidak
mau puisi-puisinya di publikasikan atau diterbitkan.
Tapi
lihatlah hasil dari karya tersebut, dia bisa bertahan lama bahkan sampai sekarang
masih banyak di cari oleh para kritikus dan penikmat sastra. Itu berbanding
terbalik dengan karya sastra sekarang yang cepat saji, setelah satu hari
peluncuran buku tersebut satu hari itu pula selesai di tangan pembaca dan tidak
di cari lagi sebagaimana karya sastra terdahulu.
Inilah problem kesusastraan dewasa ini
yang sifatnya sementara dan tidak mempunyai subtansi apa-apa, apalagi daya
tarik untuk membeli atau sekedar mengoleksi karya tersebut. Hal itu disebabkan
karena hidup penyair saat ini tidak mempunyai gejolak dan hidupnya tenang,
karena mereka hanya hidup dalam dunia yang mereka ciptakan sendiri. Mereka
tidak mau mengamati atau turun langsung dengan problem-problem yang terjadi
disekitarnya.
Kemudian kalau memang benar begitu adanya,
apa istimewanya dari seorang penyair, yang banyak kalangan menyebut kalau
penyair adalah menusia pilihan. Pilihan yang seperti apa, Jika mereka hanya
berada dalam ruang lingkup pribadinya.
Mereka tidak mencoba keluar dari dunia
(imajinatif) yang mereka ciptakan sendiri. Mereka berdiam diri dan
mengejawantahkan apa yang ada dalam dirnya tersebut. Hingga lahirlah
antologi-antologi puisi di mana-mana, yang hanya mengisahkan tentang persoalan
dirinya sendiri. Nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan, kebejatan pemerintah
dan nasib rakyat tak pernah sekalipun mereka singgung.
Apakah mereka tidak berpikir kalau sastra
bukan hanya persoalan perut dan isinya. Sastra melebihi dari apa yang ada dalam
pikiran kita. Mursal
Esten, mengatakan “sastra adalah pengungkapan
dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia dan
masyarakat melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap
kehidupan manusia”.
Efek
positif ini yang tidak di miliki oleh penyair sekarang, sehingga apa yang
mereka hasilkan tidak bertahan lama dan hanya berumur seumur jagung. Maka tidak
salah kalau buku-buku sastra saat ini banyak yang tidak laku di pasaran, itu
sebabnya para pembaca tidak menemukan hal yang positif di dalam karya sastra
tersebut.
Hal
ini yang membuat karya sastra di negeri ini tidak mendapatkan tempat di hati
pembaca baik di dalam negeri maupun di luar. Apalagi mau bersaing untuk
mendapatkan hadiah nobel wong di
dalam negeri saja karya tersebut tidak laku. Meskipun karya sastra bukan untuk
saling mendapatkan penghargaan namun minimal kita masuk dalam nominasi seperti
yang telah Pramudya Ananta Toor lakukan dulu. Pram tidak pernah mengharapkan
penghargaan tersebut namun karena karyanya memang pantas untuk di hargai.
Keseriusan
dan ketekunan untuk terus menemukan hal-hal yang baru, serta peka terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan adalah tugas wajib para penyair. Jika tidak
demikian maka karya-karya yang di hasilkan tak akan memberikan sumbangsih
apa-apa terhadap kehidupan ini apalagi terhadap ilmu pengetahuan.
Ini
menjadi koreksi kita bersama, bagaimana karya sastra saat ini seperti halnya
kata Rendra “hidup yang tak hidup”. Artinya setengah-setengah, mau di bilang
hidup ya hidup tapi mau di bilang mati juga bisa. Sebab percaturan sastra saat
ini tidak seheroik pada angkatan 2000an atau angkatan 45 sebagai pembuka
gerbang sastra Indonesia.
Pada
masa itu bukan hanya para penyair yang bersaing atau berlomba menjadi yang
terdepan (melahirkan karya yang berkualitas) namun para kritikus sastra juga
bermunculan. Sampai-sampai A Teuw yang berkebangsaan Belanda tertarik untuk
meneliti karya sastra Indonesia. Itu menandakan bagaimana sastra pada masa itu
memang mempunyai greget yang luar biasa. Sehingga membuat kritikus sastra
terpancing untuk mengkritisi karya sastra yang lahir ke permukaan. Baik
berbentuk buku mau pun hanya sekedar majalah.
Bandingkan dengan sekarang, banyak lulusan sastra Indonesia yang telah
sangat paham bagaimana cara membedah sebuah karya sastra dan dengan pisau apa
harus di bedah, mereka semua telah hafal luar kepala masalah toeri-teori sastra.
Namun kita tidak menemukan geliat seperti halnya angkatan 2000an atau angkatan
45. Saya kira mereka (kritikus sastra) bukan tidak mau membedah dan mengkritisi
karya sastra saat ini. Namun karena karya sastra saat ini tidak menarik untuk
di bedah dan di perbincangkan.
Krapyak 2014
*Alunk S
Tohank, Esais tinggal di Yogyakarta. Sekarang aktif di Komonitas “The Phong
Institute”.
Dimuat
dikoran Riau Pos