Jangan
buang waktu menulis buku! Andaikan bertubuh tinggi dan kekar, lagi pula rupawan
lebih baik jadi pemain drama!. (Bjornstjerne Bjornson)
Pernyataan
Bjornson di atas bukan tanpa alasan, karya sastra dan seni tidak bisa membuat
kita kenyang dan tidak cukup untuk membuat kita kaya raya. Karya sastra dan
seni seakan-akan hanya ditakdirkan kepada orang-orang yang sabar akan berbagai
macam cobaan dan penderitaan, maka tidak salah jika membaca buku-buku sastra
yang paling menggugah adalah karya-karya yang isinya menceritakan berbagai maca
penderitaan.
Semua
ini telah menjadi rahasia umum dalam dunia sastra, bahwa karya sastra tidak
akan membuat penulisnya menjadi kaya raya dan hidup serba berkecukupan. Namun
anehnya, meskipun telah jelas-jelas bahwa karya sastra tidak akan mengantarkan
kita pada kehidupan yang dicita-citakan semua orang dimuka bumi ini, toh masih banyak orang yang bercita-cita
ingin menjadi seorang sastrawan atau seniman, terutama pada kalangan anak muda.
Ini
kemudian yang menjadi nilai plus dari karya sastra dan seni, meskipun sudah
jelas akan mengantarkan siapa saja yang mempunyai keinginan menjadi sastrawan
atau seniman pada jalan yang begitu menyakitkan namun orang-orang itu tetap
bertahan dan terus melawan segala macam cobaan, meskipun tidak sedikit orang
yang tersesat dalam dunia sastra kemuadian dia berpaling dan mengalihkan jalur
hidupnya pada jalan yang agak terang yaitu jalan bisnis.
Banyak
para penulis sastra yang kemudian untuk menyambung hidup sehari-hari, mereka
menjadi seorang bisnismen dengan tidak meninggalkan karya sastranya. Sebut saja
Ahmad Muchlis Amrin, seorang cerpenis dan juga sastrawan muda asal Madura ini
telah begitu lama menulis puisi dan cerpen namun kemudian disamping menulis,
beliau juga menjalankan bisnisnya sebagai juragan kerupuk “Bakti Rentani”.
Menurut beliau karya sastra tidak akan cukup menafkahi hidupnya dan
keluarganya.
Dari
itu jelas sudah bahwa karya sastra akan membuat hidup serba kekurangan namun
akan membuat hati kita serba berkelebihan. Hal ini sama dengan yang dialami
oleh anak-anak komunitas KUTUB Yogyakarta, yang belakangan sangat getol muncul
di media-media lokal dan nasional, baik koran dan majalah.
Mereka
paham kalau karya sastra tidak akan mengantarkan mereka pada hidup yang serba
berkecukupan, tapi tekad yang kuad tidak membuat mereka gentar dengan berbagai
macam cobaan. Mereka rela menjadi penjual koran di lampu-lampu merah hanya
untuk menyambung hidupnya, bahkan ada sebagian dari mereka yang hanya
menyambung hidup dari warung kopi ke warung kopi lainnya, semua itu mereka
perjuangkan hanya demi sebuah karya sastra.
Tidak
cukup sampai di situ saja, anak-anak muda di komunitas KUTUB bahkan bisa di
sejajarkan dengan perjuangan Knut Hamsun dalam novel “Lapar”, kalau Hamsun
bilang: “aku adalah pujangga! Sekali kelak orang akan menyanjungku di Norwegia!
Dan hanya ingin hidup sebagai pengarang. Biar harus menahan lapar, sampai
rambutnya rontok dan pusarnya berdarah; biar harus mengunyah keping-keping kayu
dan mengemis tulang dari tukang daging “untuk anjingku”. Biar harga diri gugur
satu demi satu. Anak-anak di komunitas KUTUB pun demikian “meskipun aku
terasing di kota yang penuh dengan keramaian dan hidup indah anak muda, bagiku
semua itu bukan alasan untuk tidak belajar menulis karya sastra.
Bisa
dibilang, mereka (komunitas KUTUB) tiada hari tanpa menulis dan tiada hari
tanpa membaca. Hidup yang menoton ini mereka jalani dengan penuh kebahagiaan,
meskipun seperti yang telah saya sebutkan di atas, mereka harus menahan lapar
yang terlalu, namun demi sastra mereka tak memperdulikan semua itu. Bahkan
kebanyakan dari mereka yang notabenenya adalah anak-anak muda harus rela
menjomblo dan di olok-olok oleh teman-teman sekampusnya karena setiap malam
minggu mereka tidak pernah malam mingguan, sebab pada setiap malam minggu
mereka harus diskusi bedah karya baik cerpen mau pun puisi, laiknya pengadilan
puisi yang biasa komunitas-komunitas besar lakukan.
Sungguh
tak bisa dipercaya, karya sastra bisa membuat penulisnya menjadi sangat
menderita, namun inilah yang terjadi dan dialami oleh seorang penulis muda asal
Ingris Thomas Chatterton, pujangga muda Ingris abad ke-18 yang bunuh diri pada
usia 19 tahun karena sadar bahwa sastra dan seni takkan sanggup menafkahinya.
Thomas
Chatterton telah menyadari dari awal kalau sastra dan seni tidak akan sanggup menafkahinya,
maka dia memilih untuk bunuh diri ketimbang hidup menderita. Sayang beribu
sayang Thomas Chatterton tidak mempunyai kesabaran seperti anak-anak di komunitas
KUTUB, karena Thomas Chatterton tidak memiliki paham dari ajaran Gus Zainal
Arifin Thoha “aku menulis maka aku ada”.
Kemudian,
disadari atau tidak, menjadi seorang penulis terutama penulis sastra, harus
siap menderita jika tidak, lebih baik dari sekarang berhentilah bercita-cita
menjadi penulis atau menjadi sastrawan sebab sudah sangat jelas bahwa karya
sastra dan seni tidak akan membuat anda kaya raya tapi cukup membuat anda
bahagia.
dimuat di Minggu Pagi Desember 2016