Responsive Banner design
Home » » Petaka Lampu Merah

Petaka Lampu Merah



Pagi itu jalanan terlihat sepi, entah kenapa aku juga tidak mengerti padahal pagi itu bukan hari minggu. Semua pengguna jalan yang biasa berlalu lalang seakan sedang berlibur ke luar kota. Hanya segelintir saja yang lewat sedangkan daganganku (Koran) masih belum ada yang laku satupun saja. Kalau begini terus bisa sehari aku berdiri jadi penghias lampu merah.
Jarum jam menunjuk pada angka 8 itu bukti kalau waktu terus berjalan sedangkan koranku belum ada yang beli. Aku bingung harus kukemanakan Koran-koran ini, apa harus kukembalikan atau tetap bersabar menunggu sampai Koran itu laku. Itulah yang berkecamuk didalam kepalaku.
“mas korannya satu” ibu-ibu itu memecahkan lamunanku.
“iya buk iya, Koran apa?” jawabku sambil membuang lamunan yang berkecamuk dari tadi.
“apa aja, yang penting berisi berita tentang pelantikan pak President”
“ini buk” aku memberikan Koran Kompas.
“berapa harganya?”
“lima ribu buk”
Ibu-ibu itu kemudian memberikan uang sepuluh ribu, padahal gak ada kembaliannya, aku bingung apa mau di kembalikan atau masih mau tak tukar. Padahal lampu merah tinggal beberapa detik lagi.
“maaf buk, belum ada kembaliannya” ungkapku agak sedikit memelas.
“ow…. Iya gak apa-apa ambil aja kembaliannya”
“terima kasih banyak ya buk”
“iya sama-sama” ibu itu langsung menancap gas, sebab lampu ijo telah menyala.
Aku sangat gembira sekali dan bersukur kepada Tuhan, sebab untuk mendapatkan uang lima ribu itu butuh waktu kurang lebih satu jam.
Setelah laku satu tak di sangka ternyata jalanan semakin sesak, dan koranku tinggal beberapa lagi. Hatiku gembira ingin rasanya kukatakan kepada orang-orang bahwa hari ini adalah hari paling mujurnya aku, sebab selain Koran sudah hampir laku semua, orang-orang yang beli sejak tadi rata-rata tidak mengambil kembaliannya. Mungkin ini yang di maksud oleh orang-orang yang pintar agamanya “orang sabar itu di sayang Tuhan”, jadi apa yang telah terjadi padaku sejak tadi pagi itu adalah ujian bagaimana aku bisa bersabar dengan semua ini.
Kini koranku telah laku semua dan aku akan kembali mengayuh ontelku untuk pulang kemudian beristirahat. Namun sebelum pulang biasanya aku mampir dulu di warung buk Ira untuk mengisi perutku yang mulai tadi sudah tak sabar ingin berhadapan dengan nasi dan lauk.
Dalam perjalanan menuju warung buk Ira, aku terus tersenyum dan tak sadar kalau keringat telah membasahi seluruh badan. Sesampainya di warung buk Ira aku pesan nasi ayam biar perut ini tidak marah, karena kalau sampai marah dia tidak akan mau makan dan akhirnya aku sakit perut.
Alhamdulillah akhirnya perutku senang sekali dengan nasi ayam sehingga aku harus cepat buru-buru pulang, untuk segera membuang polusi yang sejak tadi pagi bertapa di dalam perut.
“Najah, gimana korannya laku semua hari ini?” sambut Darus.
“iya dong, siapa dulu Najah gitu” jawabku dengan senyum mengembang di bibir.
“wah… hebat kamu udah beberapa hari ini kamu jualan dan laku semua”
“apa sih yang gak laku kalau kita mau berusaha, harga diri juga laku kalau di jajakan, hehehe” jawabku sambil gurau dengan temanku yang pemalas ini.
“kalau gitu besok aku ikut dong”
“ok terserah kamu tapi ada syaratnya?”
“apa itu” Darus sangat serius menanyakan kepadaku.
“SABAR”
“Cuma itu, gak ada lagi”
“iya gak ada”
“wah aku pasti bisa kalau cuma bersabar, bukankah setiap hari aku bersabar dengan makan kadang-kadang satu kali dan bahkan kadang gak makan” jawab Darus dengan sangat percaya diri.
“ok deh, besok kamu jangan sampai kesiangan, jam 05.00 wib kita harus berangkat”
“siap bos” jawab Darus.
Keesokan harinya aku dan Darus berangkat untuk kembali bekerja sebagai penjual Koran, kita berdua sangat percaya diri kalau pagi itu Koran kita akan laku semua. Namun apalah daya dan upaya kalau rejeki Tuhan itu tidak bisa kita kalahkan dengan hanya percaya diri. Hal di luar kebiasaan telah melanda kepada kita berdua, bukan kecelakaan atau tidak ada korannya tapi permasalahan klasik yang telah dari dulu di biarkan oleh bangsa ini. Yaitu lampu merahnya rusak dan akhirnya semua pengguna jalan berjalan terus. Akhirnya kita berdua pulang dengan keringat di punggung tanpa sepeserpun uang kita dapat.  
   
* Alunk S Tohank, aktif di lesehan Sastra Kutub Yokyakarta (LSKY)

0 komentar:

Posting Komentar

Mpu Sastra. Diberdayakan oleh Blogger.