Teknologi adalah
manifestasi dari imajinasi manusia tentang sebuah dunia yang lebih baik.
Melalui teknologi manusia membangun masa depan kebudayaan dan kehidupan mereka. (Yasraf Amir Piliang)
Pada
abad 21 ini, wajah kebudayaan bangsa kita tengah mengalami
perubahan yang sangat signifikan, apalagi dengan dibukanya pasar bebas atau
yang sering kita sebut sebagai MEA. Dengan dibukanya MEA bukan hanya persoalan
gaya hidup yang menjadi ancaman manusia modern namun agama dan kepercayaan pun
menjadi ancaman yang cukup serius. Jika agama dan kepercayaan manusia sudah
hancur maka secara otomatis cara pandang manusia modern juga akan rusak,
apabila cara pandang sudah rusak maka apa saja yang berkenaan dengan pemikiran
juga akan rusak.
Ini
sama halnya dengan apa yang di khawatirkan Ritzer bahwa, McDonaldisasi tidak
saja mempengaruhi bisnis restoran, akan tetapi juga pendidikan, kerja,
perawatan kesehatan, trevel, waktu senggang, makanan, politik, keluarga, bahkan
nyaris setiap aspek kehidupan sosial. Mcdonalidisasi memang menjadi ancaman
manusia dari segala bentuk, bahkan kebudayaan juga tak luput dari virus manusia
modern ini.
Semua
itu bisa kita buktikan dengan maraknya
orang-orang yang menjadikan mall sebagai tempat suci, altar atau ka’bah. Dan di
mall orang-orang mencari Tuhan-tuhan artifisial, roh-roh digital dan nabi-nabi virtual. Sebab pada abad ke 21 ini, mall
menjadi sebuah agen defusi, menjadi sebuah ruang kelas tempat manusia
mempelajari seni dan keterampilan untuk menghadapi peran baru mereka yang
sentral sebagai konsumer masa depan.
Mall tidak lagi sekedar tempat untuk transaksi barang dan jasa, melainkan
berperan sentral sebagai citra cermin (mirror
imege) sebuah masyarakat. Bukan hanya itu namun mall juga menjadi tempat
setiap orang membangun gaya hidupnya (life
style) dan tempat orang mencari identitasnya. Inilah budaya manusia modern
dengan kemajuan teknologi yang tak ada batasnya.
Di tengah-tengah masyarakat global atau apa yang disebut
oleh Karl Poper sebagai open society atau masyarakat terbuka, kita dipaksa untuk memasuki dunia baru yang di dalamnya kegiatan apapun
dapat dilakukan dengan tingkat pengalaman yang sama yaitu di dalam jagat raya
maya. Alam jagad raya maya tersebut dianggap lebih menyenangkan ketimbang dunia
maya itu sendiri. Bahkan segala sesuatu yang telah terjadi pada masa lalu yang
dianggap sebagai fantasi dan halusinasi pada saat ini dapat dialami sebagai
sebuah realitas yang nyata. Semua itu tidak lain karena bantuan dari teknologi
yang telah menstimulasi manusia, sehingga antara dunia realitas dan non
realitas tidak dapat dibedakan lagi.
Baudrillard melihat hiperealitas sebagai kondisi
membaurnya dunia realitas dengan fiksi, fantasi, ilusi, dan halusinasi, sebagai
peristiwa besar; Paul Ricoeur justru melihatnya sebagai hal yang biasa-biasa
saja. Ricoeur melihat peleburan itu sebagai hal yang wajar disebabkan ia tidak
melihat konsep fiksi dan realitas sebagai dua konsep dalam relasi oposisi biner
atau polaritas. Fiksi, menurut Ricoeur, mempunyai hubungan yang kompleks dengan
realitas. Ia tidak hanya merujuk pada realitas, tetapi juga membentuk ulang
realitas (remakes). Fiksi (disebabkan di dalamnya beroperasi imajinasi dan
fantasi-fantasi, yang dapat mengkonstruksi berbagai dunia yang belum ada) dapat
membentuk ulang dunia realitas dengan menawarkan sebuah dunia kemungkinan (a
possible world). Dengan kata lain, sebuah fiksi adalah sebuah calon realitas
atau bibit dunia, yang suatu ketika dapat menjadi kenyataan, lewat peran sains
dan teknologi dalam merealisasikannya.
Alvin Tofler, salah seorang futuris terkemuka mencoba
memberikan suatu penjelasan tentang konsep manusia masa depan. Konsep pemikiran
Alvin Tofler diawali dari karya monumentalnya yang dirumuskan dengan istilah future shoock (kejutan masa depan).
Dalam tulisan tersebut Alvin Tofler melukiskan tentang tekanan dan disorientasi
hebat yang dialami oleh manusia jika terlampau banyak dibebani perubahan dalam
waktu yang sangat singkat. Jelasnya, kejutan masa depan bukan lagi merupakan
bahaya potensial yang masih jauh tetapi merupakan penyakit nyata yang diderita
oleh manusia modern.
Masa depan manusia merupakan sesuatu yang sangat sulit
untuk didefinisikan, dari saking sulitnya masa depan sulit diprediksikan. Oleh
karena itu Alvin Tofler menyebut bahwa masa depan adalah gelombang perubahan.
Setiap kali gelombang perubahan menguasai suatu masyarakat tertentu maka pola
perkembangan masa depan relativ untuk diamati. Sebaliknya, bila suatu
masyarakat dilanda gelombang perubahan besar dan belum jelas yang mana yang
paling dominan, maka citra manusia masa depan itu menjadi retak. Namun mau
tidak mau manusia itu tidak bisa mengelak dari apa yang disebut Tofler sebagai
perubahan. Kemungkinan-kemungkinan manusia sekarang adalah kemungkinan semu dan
halusinasi belaka. Jadi apa yang pernah dikerjakan manusia masa lampau
mempunyai korelasi pada masa depan manusia.
Generasi manusia
konsumsi
Letak permasalahannya adalah bukan terletak pada masa
depan manusia itu sendiri namun lebih pada manusia sekarang atau lebih tepatnya
pada generasi muda, di mana kemajuan teknologi dan informasi telah merubah sebagian
besar masyarakat dunia, terutama masyarakat yang tinggal diperkotaan. Sebagaimana diketahui dengan adanya kemajuan informasi di satu sisi remaja
merasa diuntungkan dengan adanya media yang membahas seputar masalah dan
kebutuhan mereka, sedangkan di sisi lain media merasa kaum remajalah yang tepat
menjadi konsumen dari berbagai produk yang ditawarkan. Seperti diketahui
bersama bahwa media, berperan besar dalam pembentukan budaya masyarakat dan
proses peniruan gaya hidup, tidak mengherankan pada masa sekarang adanya
perubahan cepat dalam teknologi informasi, juga dapat menimbulkan pengaruh negatif, meskipun pengaruh positifnya masih terasa.
Tidak jarang anak-anak muda
sekarang seringkali meniru gaya hidup orang-orang barat. Semua itu terlihat
dengan maraknya para remaja yang selalu mengikuti mode dunia, mulai dari
fision, gaya rambut, HP yang gonta ganti dan menyesuaikan dengan perkembangan
teknologi, pakaian dan sebagainya. Melalui pengaruh ini generasi muda diajarkan
untuk hidup boros dan konsumtif, hingga membuat mereka tidak lagi kritis
terhadap persoalan sosial yang terjadi dimasyarakat karena mereka terbuai oleh
perkembangan zaman.
Maka
dengan begitu apa yang dihawatirkan Baudrillard terhadap budaya konsumerisme
telah menimpa kalangan anak muda. Bagi Baudrillard
konsumsi bukan sekedar nafsu untuk membeli begitu banyak komoditas, satu fungsi
kenikmatan, satu fungsi individual, pembebasan kebutuhan, pemuasan diri,
kekayaan atau konsumsi objek. Namun lebih jauh lagi, konsumsi merupakan suatu
struktur atau fakta sosial yang bersifat eksternal dan bersifat memaksa
individu. Jadi manusia dipaksa untuk menkonsumsi tanpa henti, secara rakus dan
serakah. Konsumsi yang dilakukan tidak meberikan kepuasan, dan justru yang
terjadi adalah mahasiswa senantiasa merasa haus untuk membeli produk-produk
baru yang disuguhkan oleh para produsen.
Kemudian, aktifitas konsumsi merupakan aktifitas yang
“wajib” dilakukan. Hal itu bisa dilihat dari semakin banyaknya jumlah
permintaan akan suatu barang konsumsi dibandingkan dengan jumlah penawaran yang
ada. Semakin hari sikap konsumtif mahasiswa semakin memprihatinkan dan semakin tak terkendali.
Apapun yang bisa dibeli, maka akan dibeli, tak peduli mereka butuh atau tidak
pada barang tersebut.
Lebih jauh lagi, aktifitas konsumsi ini telah menjadi
salah satu medium menuju ekspresi eksistensial; aku belanja maka aku ada. Ya, itulah mungkin ungkapan yang tepat
dalam melihat realitas budaya konsumerisme di kalangan anak muda dan mahasiswa.
Hal ini bisa kita lihat di pusat-pusat perbelanjaan. Mall, misalnya, selalu
dipenuhi dengan anak-anak
muda. Hal ini terutama terjadi pada anak-anak muda perkotaan
dengan gaya hidup metropolisnya, yang senantiasa mempertontonkan seputar
kehidupan mereka yang mewah dengan baju bermerk, tas bermerk, makanan mahal, gadget
terbaru dan sebagainya.
Jika
demikian, maka praktek konsumerisme telah merasuki kebudayaan kita, di mana budi dan jiwa telah lenyap, dan kini tubuh manusia telah
menjadi sebuah titik sentral dari mesin produksi, promosi dan konsumsi kapitalisme.
Tubuh di produksi sebagai komoditi dengan mengeksplorasi segala potensi hasrat
dan libidonya untuk dipertukarkan sebagai komoditi (video girl), tubuh juga dijadikan sebagai metakomoditi yaitu
komoditi untuk menjual komoditi lain.
Pengaruh dari munculnya budaya konsumsi dikalangan anak
muda ini tak lepas dari peran industri dan bisnis yang menciptakan rasa bosan
yang teratur. Konsumen diusahakan agar tidak terlampau lama terikat terhadap
suatu hasil pabrik. Pada saatnya konsumen diusahakan agar merasa bosan dan siap
menerima hasil produksi baru. Hal ini berlaku pada barang-barang seperti,
sepatu, baju, televisi, mobil, dan yang paling parah adalah hand phone atau gadged. Misalnya Hp Samsung yang
sekarang ini merupakan salah satu merk yang menguasai pasar indonesia, secara
reguler selalu melahirkan tipe dan model-model baru. Oleh karena itu
perlahan-lahan masyarakat indonesia dihisap kedalam jaringan perdagangan dan
konsumsi modern.
Dunia yang kita hadapi sekarang adalah dunia sebagaimana dinyatakan
oleh Baudrillard yang menyatakannya dengan: matinya realitas, matinya tanda,
berakhirnya representasi, akhir dari makna, matinya sosial, matinya utopia,
selamat tinggal media, atau matinya seksualitas. Realitas telah mati, tanda
telah mati, representasi telah berakhir, sehingga tidak ada lagi landasan
berpijak. Dunia berlari di atas sebuah kehampaan. Kita lebih mengenal kehidupan
ranjang seorang artis, tetapi kita tidak mengenal tetangga sebelah. Kita tidak
lagi melakukan ritual keagamaan tetapi menggantinya dengan ritual gymnastic di hotel-hotel. Maka dengan
kemajuan teknologi yang tak bisa kita bendung, Tuhan-tuhan virtual dan
agama-agama virtual akan bergentayangan menghantui hidup manusia modern.
Daftar Pustaka
Ritzer, George,
Teori Sosiologi, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2013.
James Brook & Iain Boal Resisting, Virtual Life: The culture and Politics of
Information, City Light, New york, 1995
Toffler, Alvin. Future Shock, Terj. Sri Koesdiyantinah,
Jakarta: Pantja Simpati, 1989.
Baudrillard, Jean, Masyarakat Konsumsi,
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009.
Slouka,
Mark, Ruang yang Hilang Pandangan
Humanis Tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan, Bandung:
Mizan, 1999.
Khairul Mufid, Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (2014).