Perkembangan
sastra belakangan sangat pesat sekali, hingga jumlahnya tak terhitung.
Penulis-penulis sastra bermunculan dari berbagai daerah bahkan bisa dikatakan
setiap daerah mempunyai puluhan penulis sastra atau pun ratusan. Itu semua bisa
kita lihat pada hari sabtu dan minggu, di mana media massa yang ada rubrik
sastranya seakan setiap minggu memuat tulisan penyair-penyair dari berbagai
daerah.
Penyair-penyair
tersebut tidak hanya didominasi oleh penyair tua namun anak-anak muda (penulis
pemula) juga ikut meramaikan persaingan di hari itu. Seakan sastra telah
menjadi idola tersendiri di negeri ini, dan itu menjadi kabar baik bagi
kesusastraan Indonesia yang mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Namun
perkembangan itu tidak di ikuti oleh kritikus sastra, sehingga sastra pada hari
ini seakan sepi dan tidak ada pergolakan, atau bisa di katakan berjalan di
tempat. Kenapa demikian?
Marilah
kita kembali membuka memori masa silam di mana Chairil Anwar muncul sebagai
pembawa obor sastra Indonesia pada kisaran tahun 60 an yang kemudian melahirkan
nama angkatan 45. Bukankah nama Chairil Anwar sebelumnya tidak pernah kita
dengar dan bahkan tidak akan pernah kita kenal seandainya H.B. Jassin tidak membuat
pengakuan terhadap sajak-sajaknya.
Pengakuan
H.B. Jassin inilah yang membuat nama Chairil Anwar melangit dan membuat
puisi-puisinya di terbitkan di negeri ini. Dari itu maka perlu adanya seorang
kritikus yang bisa membahas dan mengkritisi karya sastra yang berlimpah ruah
tersebut, agar sastra tidak hanya menjadi perbincangan para sastrawan saja dan
hanya selesai di ruang itu pula.
Ini yang
membuat sastra pada kali ini tidak menarik dan tidak seheroik angkatan 45,
sebab melimpah ruahnya para sastrawan tidak dibarengi oleh para kritikus
sastra. Padahal kita tahu di negeri ini banyak kampus-kampus yang meluluskan
mahasiswanya sebagai sarjana satra dan Bahasa Indonesia. Saya kira mereka semua
sangat paham tentang teori-teori sastra dan bagaimana cara mengkritisi sebuah
karya sastra. Namun kita jarang bahkan tidak menemukan lulusan-lulusan sastra
Indonesia yang benar-benar kompeten meneliti sastra Indonesia. Kebanyakan dari
mereka setelah menamatkan kuliahnya, berebut menjadi PNS atau guru bahasa
Indonesia.
Bukankah
itu adalah sebuah kenaifan bagi perkembangan sastra itu sendiri. Lalu apa
gunanya perguruan-perguruan tinggi mengadakan jurusan sastra kalau cuma hanya
ingin mencetak guru bahasa Indonesia? Inilah juga yang di gelisahkan oleh Saut
Situmorang dalam esainya yang berjudul “Dicari:
Kritik(us) Sastra Indonesia ”. Di dalam esai tersebut Saut mengatakan,
“fakta bahwa dunia sastra Indonesia, mulai sejak zaman Balai Pustaka sampai
munculnya antologi CD puisi cyberpunk/
Internet cyberpuitika yang
kontroversial di tahun 2002, hanya mengenal satu krisis saja dan itu masih
berlangsung sampai hari ini, yaitu krisis kritikus satra”.
Interpretasi
Saut Situmorang di atas bukan berangkat dari kegalauannya belaka namun hal itu
berlandasan pada fakta yang telah terjadi pada kesusastraan negeri ini. Di mana
para sarjana-sarjana sastra yang di harapkan bisa menjadi kritikus sastra
Indonesia tidak menampakkan keseriusannya untuk meneliti dan mengkritisi karya
sastra yang melimpah ruah. Bukankah mereka sudah setiap saat berhadapan dengan
berbagai teori-teori sastra tapi kenapa hal ini bisa terjadi, apa yang salah
dengan teori-teori tersebut?
Saut
Situmorang, dengan lantang mengatakan kalau hal tersebut di karenakan para
sarjana-sarjana sastra tidak mempunyai kecerdasan Bahasa. Sehingga para
mahasiswa ketika masih berada di bangku kuliah hanya membaca karya-karya
terjemahan. Dan kita tahu bagaimana terjemahan sebuah karya sastra tidak cukup untuk
kita jadikan acuan sebagai studi yang bersifat “kritikus sastra”.
Dari itulah
kesusastraan di negeri ini seperti yang di katakana Saut Situmorang “berjalan
ditempat”. Karena kritikus sastra adalah sebuah penunjang bagaimana
kesusastraan itu mengalami kemajuan dan perkembangan. Sebab sastra bukan hanya
untuk penulis sastra dan penikmat saja, tapi lebih dari itu. Ini mungkin yang
menyebabkan karya sastra tidak laku di pasaran dan kurang mendapat tempat di
hati masyarakat.
Ketidak
seimbangan ini menjadi sebuah penyakit yang sangat kronis bagi kesusastraan
kita, di mana para sastrawan terus melahirkan generasi dan generasi sehingga
banyak setiap tahunnya kita di hadapkan pada nama-nama baru dalam dunia
kesusastraan negeri ini. Dan karya-karya berserakan di mana-mana tapi tak satu
pun dari karya tersebut yang menjadi fenomenal dan menggugah.
Saya kira
hal tersebut terjadi karena Indonesia mengalami krisis kritikus sastra,
sehingga para sastrawan baik pemula atau yang sudah udzur dengan enak dan
bebasnya menghasilkan karya sastra baik berupa cerpen, puisi dan naskah teater.
Itu karena karya mereka tidak ada yang membendung atau mengkritisinya sehingga
mereka tidak mempunyai masalah apa-apa dengan karya yang dihasilkan tersebut.
Seandainya kritikus sastra seimbang dengan para sastrawan, saya kira para
sastrawan tidak akan segampang itu menerbitkan karyanya.
Ini yang
akan membuat kesusastraan kita berkembang, tidak hanya karena banyaknya karya
sastra yang muncul setiap minggunya atau antologi setiap bulannya. Namun juga
kualitas yang akan kita temukan, karena mereka (sastrawan) akan benar-benar
serius dalam melahirkan karya sastra. Tidak seperti sekarang yang melimpah ruah
tapi tidak mempunyai kualitas yang mumpuni.
Krapyak 2015
*Alunk S
Tohank, Esais
aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY).
Terbit dikoran Riau Pos
0 komentar:
Posting Komentar