Akulah sungai yang bermuara
ke laut jawa
Di atasku dahulu
perahu-perahu berlayar dan berlabuh
Seperti asal-usulku, laut
itu, kadang aku diam dan bergemuruh
Sebab tepi adalah gerakku dan
muara adalah ketenanganku
(Ridhafi Ashah Atalka; Sajak
Kecil Tentang Sungai Cimanuk, 2016)
Jauh
sebelum sajak di atas ditulis, Prof. Dr. Cheryll Glotfethy seorang Amerika
Serikat jauh-jauh hari menyuarakan sastra hijau sebagai disiplin ilmu baru
dalam dunia sastara, yang disebut dengan istilah ecocriticism pada awal tahun
90-an. Sastra hijau mulai di gaungkan di Amerika Latin, khususnya di Brazil,
yang pada waktu itu mengalami kerusakan hutan yang sangat parah akibat dari
tangan-tangan tidak bertanggung jawab (pebisnis kayu).
Ecocritcism
berasal dari bahasa ingris yaitu ecology dan criticism. Ekologi dapat diartikan
sebagai kajian yang berhubungan dengan tumbuh-tumbuhan, hewan, dan hubungan
manusia terhadap lingkungan sekitarnya. Sedangkan kritik adalah bentuk ekspresi
penilaian tentang kualitas baik-buruknya sesuatu. Untuk itu secara eksplisit
ekokritik dapat kita pahami sebagai kritik yang berwawasan lingkungan.
Kemudian
bagaimana dengan Indonesia! Apakah kita mengenal istilah sastra hijau atau kita
malah tak mengenal apa-apa? Yang jelas sastrawan Indonesia telah mengenalnya
dan sebagian dari mereka telah menuliskan dalam bentuk karya, baik itu cerpen,
puisi, dan novel. Pada tahun 80-an Ahmadun Yosi Herfanda menulis puluhan puisi
“hijau” yang kemudian dicetak menjadi antologi puisi yang berjudul “Ladang
Hijau”. Ahmad Thohari juga tidak ketinggalan, dia menulis, salah satunya dalam
cerpen yang berjudul “Paman Doblo Merobek Layang-Layang.
Cuma
belakangan kita seakan tidak mendengar lagi dengan istilah “sastra hijau”
dikalangan anak muda, mungkinkah para generasi muda yang canggih dengan smartphonenya itu telah acuh, atau
mungkin kita harus membakar hutan lagi agar sastra hijau di negeri tercinta ini
bergemuruh. Kita hanya bisa berandai-andai ketika apa yang kita harapkan tidak
bisa terealisasikan, mungkin dengan pembakaran hutan sastra akan berbicara atau
dengan tumpukan sampah di kota-kota besar, atau mungkin dengan pencemaran udara
yang diakibatkan oleh merebaknya pabrik di mana-mana. Semua hanya kemungkinan,
dan yang namanya kemungkinan belum tentu terjadi.
Sastara
hijau hanya impian kecil seseorang yang mempunyai harapan besar terhadap sastra
Indonesia, di mana lingkungan sekitar semakin hari semakin memuakkan, sawah
tempat para petani mencari nafkah semakin sempit, para pemodal datang
menjanjikan uang milyaran rupiah untuk membelinya dan kemudian mendirikan
pabrik-pabrik, yang membuat air tercemar karena limbah, tanah tercemar karena
limbah, udara tercemar karena limbah. Maka secara tidak langsung lingkungan
sekitar kita akan rusak.
Berangkat
dari kegalauan yang sama, Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm
mengajukan gagasan tentang ecocriticism melalui esai yang berjudul The Ecocriticism Reader: Landmarks in
Literary Ecology, terbit tahun 1996. Kedua pakar itu mencoba menjelaskan
konsep back to natur (kembali ke
alam) terhadap karya sastra dengan menggunakan pendekatan yang berpusat pada
bumi. Ekokritisisme itu sendiri dapat dibatasi sebagai studi tentang hubungan
antara karya sastra dan lingkungan fisik.
Pada
abad ke 19 sastra Australia telah memperkenalkan sastra hijau, khususnya puisi
yang mereka sebut “Era Sastra Klonial”. Penyairnya mereka sebut Bush yang
mempunyai arti semak-semak. Dan kebanyakan dari penduduk Australia adalah
pemuja alam dan suka berkemah di hutan-hutan pada musim panas. Bahkan seorang
penyair Australia Henry Lawson rela meninggalkan hiruk-pikuk keramaian kota,
yang dianggapnya sebagai sumber polusi yang mencemari alam. Dia menghabiskan
sisa hidupnya dirumah pohon yang jauh dari karamaian dan menulis karya sastra
yang semuanya bernuansa alam sekitar.
Penyair
Amirika Serikat Emily Dickinson yang dikenal dengan perempuan lembut tapi
berpena ‘api’ sangat mengecam para perusak alam. Maka sejak menulis puisi dia
telah menjelma sebagai saudara alam semesta. Hampir setengah abad lamanya dia
menulis puisi tanpa meninggalkan rumah dan kebunnya, yang menghasilkan karya
hampir 2000 judul. Karya-karyanya di catat oleh sejarah sastra Amerika sebagai
puisi klasik sepanjang masa. Puisi-puisi Emily menghipnotis para pembacanya
untuk mencintai alam dan isinya, agar bumi tetap eksis dan menjadi rumah yang
nyaman bagi seluruh makhluk hidup.
Di
Ingris sastra hijau digerakkan oleh seoaran wartawan yang terkenal dengan
hobinya ‘suka memancing perdebatan’ seputar isu pencemaran lingkungan. Ia
kemudian menerbitkan sebuah novel yang berjudul The Stream dan berkat jerih payahnya itu dia kemudian mendapat
penghargaan Natural World book Prize
Britain. Novel itu menceritakan tentang kisah pilu dampak dari
limbah-limbah industri yang membuat sungai-sungai tercemari sampai lahan-lahan
para petani juga tercemari limbah. Limbah tersebut tidak hanya merusak lahan
pertanian dan tanamannya namun juga membuat ikan-ikan musnah, burung pemakan
hama padi musnah, serangga juga ikut musnah, dan akhirnya para petani juga ikut
musnah.
Untuk
menyelamatkan alam yang semakin sesak dengan pabrik-pabrik industri ini, suara
penyair sangat diharapkan. Indonesia yang kayaraya dengan hutan tropisnya
jangan sampai terbakar dan dirusak oleh para kapitalis, lautnya yang indah
jangan sampai tercemari oleh sampah-sampah para pelancong yang hanya bisa
mengagumi ini itu tanpa berpikir bagaimana lingkungan kita tetap sehat. Maka
dalam hal ini, meskipun “sastra hijau” tidak terlalu bergema di negeri
tercinta, bahkan lebih bergema “sastra selangkangan”, namun harapan besar akan
tetap menyala. Jika suara penyair bungkam, semoga suara burung-burung, desir angin,
lambaian pohon dan kibaran bendera Merah Putih membuat hati genersi muda
terketuk dan tetap mencintai alam semesta dan isinya.
Dari
sekian anak muda negeri ini yang menulis puisi, Ridhafi Ashah Atalka, termasuk
salah satu penulis muda berbakat. Puisi-puisinya selalu hijau, dia sangat
mencintai alam, burung, dan laut. Tapi karena di Madura tidak ada warna hjau
dan yang ada hanya warna biru, maka penulis menyebut puisi-puisi Ridhafi
sebagai “sastra biru”.
Akulah sungai yang mengalir
menuju lautan
Di tepiku pohon-pohon hijau
seperti harapan
Dan di atasku burung-burung
berkicau tentang masa silam
Tentang orang-orang yang
saling menukar barang
Menukar masa kini dan masa
depan
__menukar diri dengan Tuhan
Sewon, 2016
*Khairul Anam, Menulis Esai dan Puisi.
0 komentar:
Posting Komentar