Judul :
Menoreh Rumah Terpendam
Penulis : Latief S. Nugraha
Cetakan :
September, 2016
Penerbit :
Interlude
Tebal :
150 halaman
Peresensi :
Nurul Anam *
Membicarakan
dunia kesusastraan Indonesia kita, tidak akan terlepas dari dua kutub
persoalan, antara lokalitas dan modernitas. Mengapa demikian? Dinamika
perkembangan kesusastraan Indonesia dapat ditandai dari pengaruh modernitas dan
lokalitas. Jika kita mau runut perkembangannya mulai dari kenalnya budaya
tulis, melukis, dan pementasan-pementasan kesenian dapat kita pahami sebagai
dari pengaruh modernitas. Kemudian berlanjut atas penamaan-penamaan karya
tulis, semisal novel, cerpen juga puisi adalah bukti paling jelas dari pengaruh
modernitas atas perkembangan kesusastraan Indonesia.
Dalam
kesusastraan,
puisi khusunya, kita lebih akrab mengenal puisi yang muncul di era modern.
Seperti puisi-puisi Khairil Anwar yang menyuarakan tentang eksistensialisme
“AKU” dalam puisinya begitu akrab di mata masyarakat. Bahkan sudah menjadi
suatu keharusan puisi Khairil tersebut untuk dijadiakan contoh/panutan dalam
buku-buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Namun
di sisi lain jangan pernah kita lupakan soal lokalitas. Lokalitas juga
merupakan ruh dari kesusastraan Indonesia, dan kalau boleh dibilang lokalitas
adalah pendorongan modernitas untuk berkembang dalam diskursus kesusastraan
kita. Siti Nurbaya, roman yang sangat terkenal pada masa Balai Pustaka
itu, bukankah sangat kental dengan persoalan budaya lokalnya? Dan sekarang
masih banyak para kritikus dari berbagai institusi untuk mengkaji ulang dan
merepresentasikannya dengan kehidupan modern ini. Di dalam novel Larung karya Ayu Utami yang cukup
populer itu, saya pikir Larung adalah garapan kreatifitas Ayu dari
permasalahan dua kutub yang saya sebut di atas barusan; gabungan antara
modernitas dan lokalitas.
Maka
sudah jelas adanya, dua kutub tersebut menjadi penanda lahirnya kesusastraan
Indonesia secara pesat. Namun dari benyak orang penyuka sastra termasuk kritikus
sastra sendiri menjadikan dua kutub tersebut sebagai saingan nilai-nilai
kemanusiaan. Padahal dalam kajian-kajian lebih luasnya, lokalitas dan modernitas
adalah tuntutan zaman yang sama memberi dan melengkapi. Tidak ada diskriminasi
atau pengkerdilan identitas antara dua kutub tersebut, andai saja manusia
(kita) lebih serius lagi menjadikan dua kutub itu sebagai landasan ideologi,
baik ideologi humanisme maupun modernisme, maka tak akan ada percekcokan
pemahaman dalam menyikapi kehidupan ini.
Kita,
manusia Indonesia yang hidup di zaman ini; modern, tidak bisa menghapus salah
satu dari dua kutub tersebut. Sebab apabila kita sok idealis; mengutamakan salah satunya dan menghapus satunya lagi,
maka yang kita hadapi adalah kita akan kehilangan identiasnya. Lokalitas tentu
identitas kita, budaya kita dan jiwa kita, sedangkan modernitas adalah zaman di
mana kita hidup sebagai manusia yang berpengetahuan dan kita tak bisa keluar
dari tuntutan zaman ini. maka untuk menemukan identitas kita di tengah arus
zaman, kita harus menyatukan dua kutub tersebut sebagai ideologi kreatifitas
kita.
Membaca
puisi-puisi Latief S. Nugraha dalam antologi puisinya Menoreh Rumah Terpendam ini, sangat jelas bagaimana Latief begitu ingin
menggabungkan aroma lokaliats dan modernitas dalam puisi-puisinya. Misalnya
seperti puisi “Bukit Menoreh II”
bukit
ini/ rumah masa kecil dan segenap kenangan rahasia/ kekal abadi dalam lindap
ingatan sisa usia// bukit ini/ cerau deras hujan melepas kemarau yang pasi/
lantas kata-kata tumbuh berbuah ruah puisi// bukit ini/ kicau burung, dengung
lebah, sepasang cinta/ di antara rimbun pohonan dan mekar bunga-bunga// bukit
ini/ malam sunyi, heneng hening henung henang/ angin pagi, dingin embun bening
berlinang// bukit ini/ bukti keberadaan kakang marmati, kakang kawah, adhi rah,
adhi ari-ari/ ditanam dikedalaman tanah jawa setiap hari (hlm: 20).
Sedangkan di puisi yang lain Latief menulis “Menonton
Separuh Wanita” kita tengah berada di
tahun-tahun yang jelas(sekaligus bias)/ ketika mulus paha para wanita/ ranum
buah dada gadis remaja nyembul telanjang/ membahagiakan lelaki mata keranjang/
yang benak binalnya ingin segera ke ranjang// para wanita membuat pria yang
terluka/ menjadi tubuh perkasa berkilat keringat/ kekar berotot bagi cermin dan
wajah-wajah rupawan// seterusnya, di dalam terang warna-warni televisi/ dunia maya
dan majalah pria dewasa/ tubuh-tubuh sintal dipamerjajakan/ dikirim ke
pasar-pasar/ kaku dalam poster serta komputer di kamar-kamar// sungguh menarik,
sungguh menggoda/ meski, mata bundar, wajah bundar, dada bundar, bokong bundar,
semua akan pudar// saat itu/ aku benar-benar malu/ lalu teringat ibu (hlm: 06).
Di dalam puisi “Bukit Manoreh II” jelas sekali Latief
mengangkat tema yang bernuansa lokalitas, di mana di bukit itu pohon-pohon
tumbuh dan bunga-bunga mekar serta burung-burung yang berkicau, menandakan
bahwa di tanah kelahirannya itu masih sangat hijau, asri dan tentram. Namun di
puisi kedua “Menonton Separuh Wanita” Latief seakan-akan mengatakan kalau dia
hidup di zaman modern yang semakin hari semakin menjadi-jadi, di mana paha-paha
wanita yang mulus di pamerkan, gadis-gadis remaja yang mulai memamerkan buah
dadanya, tayangan-tayangan mesra di televisi, poster-poster sintal, semua ini
adalah potret zaman modern di mana manusia bebas sebebas-bebasnya bergaya dan
menjual dirinya.
Barangkali
Latief sepenuhnya sadar bahwa hidup di zaman ini adalah hidup di antara dua dunia yaitu modern dan masalalu. Sehingga
mau tidak mau Latief tidak bisa lepas dari masalalunya dan kehidupan yang dia
jalani sekarang. Hasta Indrayana dalam catatan pengantarnya mengatakan, kalau
membaca puisi-puisi Latief dalam Menoreh
Rumah Terpendam terdapat dua kutub, yang saya maksudkan di sini adalah
Latief mencatat hal-hal dengan kaca mata positif dan negatif (hlm: xi). Positif
dan negatif ini dalam pandangan saya “lokalitas dan modern”.
Membaca
antologi ini sebenarnya tidak
hanya puisi Bukit Manoreh II
dan Menonton Separuh Wanita,
yang menggambarkan realitas lokal dan modern, tapi juga seperti judul: Puisi, Puncak Suralaya, Kematian Datang Di Hari Kelahiran, Di Atas Jembatan Progo, Di Stasiun Tugu, Gua Kiskenda,
Jakarta, Samigaluh, Di Taman Budaya Yogyakarta, Jatilan, Di Ramai Pusat Pembelanjaan, Sungai Tinalah, Malioboro,
Sela Gilang, Kota Rantau, Nglanggeran Dll.
Kentalnya
budaya lokal yang dibangun dalam lirik-lirik puisi di dalam buku antologi ini
sangat terasa, tapi tidak juga tertinggal mengenai aroma modernitas di
dalamnya. Bagi saya, Latief sengaja mengaduk-aduk realitas modern dan lokal,
mengkolaborasikan dua kutub tersebut, sekaligus dua preode kehidupan menusia
ini. sehingga dalam buku yang
kira-kira terdapat 125 puisi ini begitu lengkap menggambarkan dua kutub
(modernitas dan lokalitas) dalam kesusastraan Indonesia kita. Dan di dalam antologi ini
kita menemukan kekayaan ide, ke-kreatifan dan kecerdasan pengetahuan dari seorang
penyair asal Yogyakarta ini.
Nurul Anam,
adalah Penggerak Lembaga Al-Kindy Institute.
Tinggal di Jln, Cuwiri Krapyak, Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar