Ada kerisauan ketika harus
memikirkan nasib sastra Indonesia, sastra yang semakin hari semakin tidak jelas
juntrungnya. Ada apa sebenarnya dengan sastra Indonesia dewasa ini, bukankah
seringkali kita temui buku-buku sastra terbit tiap tahunnya, dan bahkan ada yang
satu tahun dapat menerbitkan dua buku sastra bahkan ada yang lebih. Kenapa
mesti dirisaukan, bukankah itu semua menjadi nilai plus dari sastra itu
sendiri.
Jika merujuk pada
perkembangan terbitnya buku sastra indonesia, seperti: antologi puisi, antologi
cerpen, dan novel, memang sastra indonesia tidak perlu di khawatirkan. Karena belakangan
telah banyak penerbit-penerbit yang siap menerbitkan karya sastra dengan mudah,
hanya bermodalkan uang sedikit saja buku sastra akan terbit dan yang lebih
parah lagi adalah penerbit-penerbit itu berlomba-lomba meminta karya sastra
kepada penulis sastra agar karyanya di terbitkan, entah itu kepentingan
penerbit untuk merawat sastra indonesia atau malah hanya ingin eksis atau
bahkan hanya ingin profit? Semua itu tidak ada yang tahu kecuali Tuhan dan
redakturnya (C.O penerbitnya).
Kemudian, tiba-tiba saya
teringat pada perkataan, Mario Vergas Llora, peraih nobel sastra tahun 2010
yang lalu, bahwa saat ini sastra diperlukan hanya sebagai produk konsumsi,
hiburan remeh temeh, dan sumber informasi yang cepat basi. Saya kira ungkapan Mario
Vergas Llora ini bukan hanya omongkosong belaka terhadap dinamika kesusastraan.
Namun semua itu merupakan tamparan kritis atas fenomena kesusastraan sekarang
yang dilanda kerisauan, kerisauan dan kegelisahan tersebut dapat kita lihat
dari bergesernya kesusastraan dunia dan khususnya sastra indonesia pada kemelut
pasar.
Jika berbicara pasar maka
yang tampak adalah berbagai kepentingan dan profit. Kalau demikian maka sastra
indonesia berada dalam kemelut dan kepentingan-kepantingan tangan pemodal.
Tidak salah kemudian jika sastra dibilang sebagai sebuah ruang yang eksklusif,
yang di dalamnya hanya orang-orang sastra saja yang dapat menikmatinya,
sedangkan khalayak ramai tidak termasuk dalam bagiannya. Kalau begitu maka
tidak salah kiranya masyarakat beranggapan kalau dunia sastra tidak ada
gunanya, tidak penting, dan tidak ada manfaatnya.
Pertanyaannya kemudian adalah
“kenapa karya sastra yang terbit dewasa ini begitu eksklusif? adakah satu dua
buku sastra yang terbit belakangan ini yang tidak eksklusif? Jika ada, kenapa
karya sastra sekarang tidak begitu menggugah pembaca atau apakah pembaca yang
tidak paham terhadap karya sastra, hingga karya sastra khusus bagi orang yang
menulis sastra. Jika demikian maka apa yang ditulis para sastrawan hanya
berkutat pada remeh-temeh kehidupan pribadinya? Bukankah Rendra juga disebut
sastrawan tapi kenapa puisi-puisinya begitu dekat dengan masyarakat bawah,
petani, dan orang-orang tertindas.
Tampaknya kita mesti berpikir
ulang tentang kesusastraan dewasa ini, jangan sampai kesusastraan saat ini
beralih pada hiburan dan profit belaka. Sebab merujuk pada perkataan
baudrillard bahwa konsumsi telah menjadi dasar utama tatanan sosial. Peran
utama manusia yang semestinya untuk masyarakat luas, hanya akan berada dalam
kotak-kotak dunia yang menyihir manusia untuk menjadi konsumen. Sedangkan
tanggung jawab moral terhadap semua masyarakat hilang. Dan sepenuhnya tanpa
dinyana kita terbawa arus hidonisme, hura-hura, dan karaya sastra di dalamnya
hanya sebagai lahan (kemegahan pasar) belaka.
Dalam hal ini saya tidak
ingin menyalahkan penerbit-penerbit yang bermunculan belakangan, semua itu
sah-sah saja dan terserah mau menerbitkan 100 karya sastra dalam setahun pun
tidak masalah jika memang yang penerbit inginkan adalah profit. Cuma masalahnya
adalah bagaimana karya sastra itu bisa kembali normal seperti dahulu, yang mana
sering kita dengar bahwa karya sastra dulu sangat mulya bahkan hampir setara
dengan kitab suci. Bukan hanya itu, John F. Kennedy pernah mengatakan “jika politik bengkok,
puisi akan meluruskannya”. Sebegitu pentingnya
sebuah karya sastra hingga jika politik bengkok sastra dapat meluruskannya, tapi
apakah pada kali ini karya sastra telah meluruskan politik itu sendiri atau
jangan-jangan tidak sama sekali.
Sebagai pembaca dan penikmat
karya sastra, saya hanya berharap karya sastra tidak hanya menceritakan tentang
kehidupan pribadinya, di kamar tidur, di kafe, di pantai dan di samping
istri/pacarnya. Berceritalah sedikit tentang ilmu pengetahuan, bencana alam,
penggusuran, korban banjir, longsor, pembacokan, korupsi, demo, jam kesmas yang
tidak berguna, janji-janji pejabat yang sengaja di lupakan atau nasib
orang-orang yang kelaparan di pinggir jalan, atau nasib TKI kita yang bertambah
banyak tiap tahun di berbagai negara tetangga, dan lain sebagainya.
Kalau buku-buku sastra yang
terbit membicarakan permasalahan sosial seperti yang saya harapkan di atas,
maka saya pikir karya sastra tidak akan menjadi eksklusif lagi, dia (karya
sastra) akan menjadi bagian dari kehidupan sosial dan akan menjadi tonggak atau
suara masyarakat tertindas. Maka seberapa pun karya sastra yang terbit tiap
tahunnya akan lebih bernilai ketimbang yang hanya bercerita tentang rumah
tangga dan kehidupan dapurnya. Setidaknya tidak terlalu kentara kalau penerbit
ada hanya untuk sebuah kepentingan atau lebih tepatnya profit.
Dengan begitu, ada yang bisa kita banggakan dan tidak
malu terhadap perkataan Franz Kafka, bahwa sebuah buku harus
seperti kapak untuk membelah lautan beku dalam diri kita. Jangan hanya menjadi bunga-bunga yang cepat layu lalu
membusuk.
Riau Pos 12 12 2016
0 komentar:
Posting Komentar