Responsive Banner design
Home » » Penjual koran

Penjual koran



Waktu mencatatnya sebagai nasib setiap diri, dan membuat hidup ini sulit di tebak. Masa depan adalah bayang-bayang dan manusia lahir untuk masa depan bukan untuk masalalu. Mereka (Petek, Mat H, Paridnyak) yang terlahir dari rahim jalanan menempuh hidup dengan banyak persoalan, namun semua persoalan adalah anugerah baginya sebab tak ada persoalan tak ada kehidupan di situ.
 Sebenarnya cita-cita yang diusungnya dari desa cukup membuat lautan bergelombang dan membuat bumi ini bergetar. Namun hidup tak pandang pilih siapa yang kuat dia yang dapat, mereka mencoba bertahan di tengah banyak persoalan di negeri ini. Menjual koran adalah jalan lain menuju kemakmuran perutnya yang berhari-hari mengalami kemacetan sosial. Memang selain menjual koran masih banyak pekerjaan lain yang dapat mereka kerjakan tapi karena kemalasan yang mereka warisi dari orang tuanya maka penjual koran adalah profesi yang paling dia sukai. Selain penjual koran pekerjaan friline, juga untungnya besar, misalnya ada orang yang memberi nasi bungkus, ada yang memberi uang lebih dan yang paling membuatnya betah di lampu merah adalah paha-paha yang tersaji setiap pagi. Wow indahnya.
Pagi itu Petek, biasa aku memanggilnya. Sedang masuk kantor seperti biasanya. Dia mengkayuh ontel dari Cabean Bantul menuju Malioboro tempat dia mengambil koran setiap hari ke bosnya, agak jauh memang Cabean-Malioboro, tapi tak pernah membuat ciut nyalinya untuk menjual koran. Petek lupa kalau sekarang musim penghujan, dia tidak membawa jaz hujan dan tidak membawa plastik sebagai antisipasi kalau nanti pas jual koran hujan datang tiba-tiba.
“Ah, tak apalah Tuhan maha pengasih dan penyayang” dalam pikiranya, Petek selalu percaya bahwa Tuhan maha tau dan akan menolong terhadap hambanya yang butuh pertolongan. Maklumlah Petek punya pikiran seperti itu sebab sebelum berangkat ke kota gudeg, Petek pernah mondok selama enam tahun lebih di desa kelahirannya, Madura. Walau ketika menjadi santri Petek harus keluar dengan cara yang tidak terhormat (di keluarkan) penyebabnya tak lain karena dia tidak bisa bernafas jika tidak merokok sedangkan di pondok yang dia tempati merokok adalah pelanggaran terbesar dan hukumannya tidak bisa di tawar selain droup out. Ini juga yang menyebabkan petek bekerja menjadi penjual koran.
Tiap hari Petek menghabiskan mentari pagi di lampu merah seraya berharap suatu hari nanti dapat meraih apa yang dia cita-citakan sejak kecil, menjadi politisi dan menjadi wakil rakyat di negeri ini. tak tanggung-tanggung memang apa yang dia cita-citakan sebab dia selain menjual koran dia juga suka membaca berita-berita yang ada di berbagai koran seperti: Kompas, Jawa Pos, Tempo dll. Dari situ cita-cita petek semakin besar dan berkembang melihat para wakil rakyat sudah tidak becus lagi mengurus bangsa ini (Indonesia).
***
“ hai bro, ngapain bengong, tuh ada yang manggil mau beli koran, munkin” Mat H tiba-tiba membuyarkan impiannya.
“ iya buk, tribune ono karo kompas, jadi lima ribu semua”. Ibu yang membeli koran tribun dan kompas itu mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah kemudian petek hendak mengambil uang kembaliannya dari sakunya, namun ibu itu malah bilang ” udah ambil aja kembaliannya”. Senyum terpancar di bibir petek, seraya berucap “ terimakasih buk”. mat H yang telah menunggu di pinggir karena korannya sudah habis duluan juga ikut tersenyum melihat temannya mendapat hadiah dari pelanggannya.
Tiba-tiba dari arah selatan, arah jalan pulang. Parinyak datang dengan mengkulum senyum di bibir, entah ada apa gerangan tidak biasanya dia pagi-pagi sudah menebar senyum dari jarak yang begitu jauh. Mungkin pagi ini rejeki telah menghampirinya, Petek dan mat H sama-sama menimbun tanda tanya seraya menunggu ada sebenarnya.
“ piye mas bro” Parid menyapa dengan senyum yang tak biasa.
“ ora piye-piye” jawab mat H lalu bertanya “ ada apa senyum-senyum dari tadi”?
Parid hanya senyum dan terus tersenyum, Petek yang duduk di pinggir jalan agak malas melihat Paridnyak yang menyimpan tanya dalam senyumnya itu.
Tuhan memang takkan pernah tega melihat manusia menderita tapi apalah arti kasih sayang sifat tuhan jika Jawa Pos tetap di tangan dengan wajah sembrautan seperti ini! timpal paridnyak kepada petek. Sindiran itu membuat petek terbakar dan meredam emosinya dengan kepulan rokok dan seduhan kopi di bawah lampu merah.
“apa maksudmu?”
“hahahahahaha” paridnyak tertawa terbahak-bahak
***
Tiga pemoda itu (Petek, Mat H, Paridnyak) biasa menghabiskan sisa waktu paginya di bawah lampu merah untuk sekedar bercerita bagaimana pengalaman masing-masing di tempat kerjanya, juga melepas lelah yang mulai jam 05.00 wib mengontel lalu berjualan koran.
“Bro, ternyata penjual koran juga bisa menjadi penulis koran?
“maksud kamu ridnyak?” timpal Petek dan mat H.
“hahaha Harjo memuat opiniku bro,  yang berjudul (Politik Uang)”
“ asem” petek dan mat H seakan tak terima, maklumlah Petek dan mat H yang mempunyai cita-cita sebagai politikus dan juga menulis opini-opini tentang politik sampai saat belum di muat di media manapun. Sedangkan Paridnyak yang notabennya adalah pencinta sastra malah yang di muat. “Apa ini tidak pelecehan Tuhan, apa kau tak pernah mendengar doaku ketika malam datang dingin menghantam” Petek sangat kecewa sampai tuhan pun salah di matanya.
Bisa dimaklumi Petek dan mat H kesal mendengar kabar itu sebab mereka bertiga tinggal di salah satu pondok mandiri di Bantul yang di dirikan oleh alm Gus Zainal Arifin Thoha. Dan di pondok itu menulis adalah kewajiban yang tidak bisa di tawar lagi. juga setiap saat ketika mau solat mereka pasti berhadapan dengan mading yang bertuliskan “MANA KARYAMU”.
Ini yang membuat persaingan antara Petek, mat H, dan Paridnyak sampai pagi jatuh di dada mereka bertiga. Sebenarnya penjual koran bukan sebagai profesi bagi mereka tapi hanya sebagai pengisi perut saja, tanpa jual koran mereka tak makan. Biasa sebagai santri baru tidak munkin tulisan mereka akan di muat tiap hari atau bahkan tiap minggu. Mereka menulis masih seumur jagung tapi persaingan seperti para elit politik negeri ini yang memperebutkjan kursi kekuasaan panasnya.
Penjual koran telah mengantarkan mereka pada status sosial orang-orang bawah tapi tulisan mereka membuat tidur para elit politik negeri ini taqk nyenyak. Sebagai penjual koran dan penulis adalah hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya di negeri ini, masyarakat kebanyakan menganggap setiap penjual koran adalah anak-anak jalanan yang tak bersekolah dan tak mempunyai kemampuan, namun kini opini publik itu telah mereka ubah dengan kerja keras.
Tidak semua penjual koran adalah anak jalanan dan tidak semua anak jalanan itu tak berpendidikan. Hanya saja negeri ini tertipu oleh dasi dan jas, sedangkan mereka tak lebih dari seorang anak jalanan dan penjual koran. Petek menulis opini di Jawa Pos dengan mengkeritik pemerintah yang seakan tak peduli terhadap rakyat bawah dan juga memberikan pandangan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa status sosial tidak ada hubungannya dengan perkembangan intelektual dan mencapai sebuah cita-cita.

Kutub, 2014
  

0 komentar:

Posting Komentar

Mpu Sastra. Diberdayakan oleh Blogger.