Responsive Banner design
Home » » Sebuah Catatan yang Tak Tuntas

Sebuah Catatan yang Tak Tuntas




Walau anggur tak menyentuh bibirku
Sebab rindu aku mabuk.
(fakhruddin Iroqi)

Dari penggalan puisi di atas, bukan semata-mata saya suka terhadap sastra dan suka menulis puisi. Namun ada dorongan, ada yang memanggil, entah itu apa Sehingga saya menuliskan dua bait puisi tersebut yang bagi kebanyakan orang puisi adalah hal yang tidak masuk akal namun bagi saya adalah hal yang luar biasa.
Menulis puisi atau sajak adalah kebiasaan yang tanpa saya sadari mulai dari bangku SMA dulu. Hal ini menjadi pengalaman tersendiri bagi saya dan tanpa saya sadari bahwa setelah masuk kuliah dan menjalani hidup di kota Yogyakarta ini puisi adalah sebuah hal yang berada di luar akal sehat saya. Setiap saya menulis puisi, saya merasa berada di batas antara ada dan tiada, sadar dan tak sadar.
Apakah ini yang William Jimes katakan sebagai mistisism? Saya sendiri tak mengerti, puisi telah membuat saya berada di alam yang telah saya sendiri ciptakan. Alam yang saya sendiri tidak tahu alam apa itu namanya dan itu seringkali saya singgahi ketika menulis puisi, seperti di bawah ini:

Iluminasi

Mendekatlah wahai cahaya
Jangan malu-malu
Ini jiwa telah lama merindu

Telah banyak kegelapan melanda
Meredupkan alam mayapada

Mendekatlah
Kecup jiwa-jiwa
Katakan pada bunga dan satwa
Ini cinta kekasih pada yang terkasih
Telah menjadi buta

2014

Puisi ini hadir secara tiba-tiba, dan rasanya saya tidak bisa menulisnya kembali sama seperti ini dengan kata yang berbeda. Panggilan jiwa ini telah begitu lama bersemayam dalam diri dan menulis adalah puncak dari segala bentuk yang misteri itu.
Saya tidak bisa memaksa puisi itu hadir dan menjadi rangkaian kata-kata indah. Jika pada saatnya, dia hadir sendiri dan saya menuliskannya hingga menjadi sebuah kumpulan kata-kata.
Pernah suatu saat saya ingin menulis puisi tapi tak ada yang memanggil dalam jiwa ini hingga beberapa jam saya tidak menghasilkan apa-apa. Semua apa yang saya tulis menjadi sebuah kalimat yang amburadul dan tak masuk akal. Dari itu saya menamakan kalau puisi adalah pengalaman mistisisme seperti yang di katakana William Jimes. Sebab pada waktu menulis puisi saya merasa bahwa itulah puncak segala kenikmatan yang sebenarnya dalam hidup. Dan saya tidak bisa mendefinisikan hal itu, sebab itu semacam rasa dan rasa tidak bisa didiskripsikan, hanya bisa di rasakan. Semua itu sama halnya dengan Ibnu Arabi dan Al-hallaj tentang pengalaman sepritualnya, meskipun telah dia ceritakan dan katakan kepada seluruh masyarakat bahwa mereka telah mencapai puncak kenikmatan dan menyatu dengan Tuhan, namun siapa yang akan percaya. maka hanya tiang gantunganlah yang dapat mempercayai mereka.
Saya tidak bermaksud mengatakan kalau saya telah mencapai puncak kenikmatan dengan menulis puisi. Hal ini hanyalah pengalaman yang saya sendiri anggap sebagai pengalaman sepritual dan ini butuh usaha dan kerja keras untuk menemukan kenikmatan tersendiri dalam hidup. Semoga catatan pengalaman ini menadi awal bagi saya untuk memulai proses yang sungguh-sungguh dan tak mengenal menyerah untuk mencapai apa yang sebenarnya manusia cita-citakan dalam hidup ini.  
Kutub: 02/04/2014

0 komentar:

Posting Komentar

Mpu Sastra. Diberdayakan oleh Blogger.