Responsive Banner design
Home » » Pemilu, Wani Piro?

Pemilu, Wani Piro?




Barangkali sudah kutukan jika suasana pemilu tidak bisa terhindar dari praktek money politik. Masyarakat sepertinya sudah meyakini betul praktek money politik ini akan menjadi budaya setiap pemilihan pemimpin berlangsung, baik itu sekala pemimpin akar rumput apalagi pemilihan pemimpin Negara, yaitu presiden.
Money politik sebenarnya adalah setrategi pra calon pemimpin untuk mendapat suara massa, dengan transaksi sejumlah uang dan iming-iming lain supaya keyakinan pilihan masyarakat jatuh pada calon tersebut. Ada kesepakatan antara penggerak money politik dan masyarakat disitu untuk melanjutkan hak demokrasi, hingga ketakutan atas golput dalam pemilu dapat diatasi dengan setrategi jual beli suara seperti ini.
Senyatanya praktek money politik di Negara ini sudah terjadi pada masa lalu, pada era orde baru saat budaya materealisme-utilitarianisme merebak dan menunjukkan bahwa uang adalah sumber tertinggi dari kekuasaan. Saat itu pula bias uang sangat memiliki pengaruh, semacam memperjelas persektif bahwa barang siapa yang memiliki uang ia yang berkuasa. Nicola Machivelli seorang ahli politik asal Italia abad XV ini pernah menulis bahwa untuk mencapai kekuasaan, segala cara dapat dilakukan. Will to power atau kehendak menguasai the other salah satunya adalah dengan uang.
Budaya money politik pun berlanjut hingga dewasa ini dan praktek tersebut seperti hal biasa bagi masyarakat, ironisnya malah masyarakat menanti-nanti pemilu dengan berharap ada uang sogok sebagai pelican suara, padahal praktek money politik ini tak lain hanya sebagai siasat para calon agar dapat memenangkan persaingan politiknya. “Wani piro, untuk yang ingin menjadi pemimpin” ungkapan ini sudah lumrah diucap masyarakat saat menjelang pemilu atau tidak ada uang kami golput, ada uang kami pilih. Seperti itulah cuaca masyarakat umumnya menyikapi setiap pemilihan pemimpin.
Ketika kejadian itu berlanjut pada kekuasaan, masyarakat tinggal malaratnya karena sebagian besar uang masyarakat akan digerus seorang pemimpin sebagai pengganti hutang yang digali dari berbagai sumbur untuk membeli suara masyarakat sewaktu pemilu masih berlanjut. Kita tentu dapat membayangkan berapa dana yang dihabiskan para calon dalam perebutan kursi parlemen, suatu riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mengungkapkan seorang caleg DPR rata-rata harus mengeluarkan dana sebesar RP 1, 18 miliar untuk melakukan kampanye agar dapat menduduki kursi legislatife lebih besar empat kali lipat dari pemilu 2009 (EH Ismail, Republika 20/03/2014) jumlah uang yang tidak begitu sedikit ini mau didapat dari mana oleh para calon? Tapi dengan segala upaya hal itu dapat terjadi. Namun kemudian perlu dicurigai korupsi dapat terjadi di Negara yang melanjutkan praktek money politik ini.

Keterkaitan Dengan Korupsi
Kasus korupsi yang menjadi sindrom akut di Negara ini sebenarnya ada keterkaitan dengan praktek money politik. Hal ini dapat kita kaji dari terpeliharanya dua kebiaasaan ini yang dibiarkan menjadi ideology para elite.
Indra Ismawan dalam bukunya Money Politics menjelaskan bahwa ketika korupsi sudah menjadi kultur, maka money politik pun diterima sebagai sesuatu yang given. Bahkan pembelian suara dengan cara menyuap massa pemilih, dapat disimplikasikan sebagai sebuah upah jerih lelah.
Kaitan antara korupsi dan maney politik dapat ditandai dari gaji birokrat atau seorang pemimpin terpilih. Dalam satu bulan dapatkah gaji birokrat tersebut mencapai RP 1, 18 miliar sebagaimana dana yang dikeluarkan untuk berkampanye? Hal ini cukup relevan kita kaji sebagai alasan kenapa korupsi di Negara ini tak kunjung tuntas.
Kligaard (1998) seperti yang dikutip Indra Ismawan bahwa pada masa kekuasaan orba, sistem korupsi sudah menjadi kebutuhan untuk menambah pendapatan akibat rendanya gaji birokrat. Begitu relevan jika fakta ini kita kaitkan dengan para elite yang akhir-akhir ini mendekam dipenjara lantaran kasus suap dan korupsi yang menjerat. Sekarang ini tidak ada artinya kekuasaan, karena siapapun akan berkuasa jika ia memiliki pundi-pundi uang yang melimpah.
Ketidak cerdasan bangsa ini memilih pemimpin terlihat jelas saat praktek money politik beroprasi, maka dapat disimpulkan bahwa korupsi akan terus mengakar dan menjadi budaya Negara ini. Kerena itu untuk para partisipan pemberantas korupsi dan khususnya KPK sendiri, tidak perlu ruwet-ruwet untuk membrantas pekerja korupsi, cukup kita basmi gerakan money politik yang menjerat ideologi dan faham yang dapat menimbulkan korupsi tak sudah-sudah di Negara ini. Terakhir dari saya, Tolak money politik maka korupsi pun akan tiada. Selesailah perkara.










0 komentar:

Posting Komentar

Mpu Sastra. Diberdayakan oleh Blogger.